kaida fiqhiyah 30 sampai 40
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia tidak dapat dilepaskan dari pekerjaan
sehari-sehari diantaranya, makan, ibadah sholat, dan pekerjaan yang lainnya.
Namun semua itu, manusia tidak akan semua dapat mengerti bagaimana tata cara
mencapai kesempurnaan (dengan ridha Allah). Maka dari itu, kami akan membahas
mengenai tengtang hal tersebut, yaitu pada materi “KAIDAH FIQHIYYAH” dengan tema pada makalah kali ini “KAIDAH
FURU’IYAH (KAIDAH KE-30 SAMPAI 40)”. Semoga dari apa yang akan
kami sampaikan, dapat memberikan arahan yang baik bagi kita semua dalam
menjalankan pekerjaan sehari-hari.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada kali ini:
1.
Apa
Maksud Kaidah (kaidah ketigapuluh sampai ketigapuluh empat) ?
2.
Apa Maksud Kaidah (kaidah ketigapuluh lima
sampai empat puluh) ?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan pada makalah kali ini:
1.
Untuk Mengetahui Kaidah (kaidah ketigapuluh
sampai ketigapuluh empat)
2.
Untuk Mengetahui Kaidah (kaidah ketigapuluh
lima sampai empat puluh)
BAB II
PEMABAHASAN
1.
Maksud Kaidah (ketigapuluh sampai ketigapuluh
empat)
a. Kaidah ketigapuluh[1]
مَنِ ا سْتَعْجَلَ شَيْأً قَبْلَ أَوَانِهِ عُوْ قِبَ بِحِرْ مَا نِهِ
“Barang
siapa yang tergesa-gesa terhadap sesuatu yang belum tiba waktunya maka harus
menanggung akibat tidak mendapatkan sesuatu itu.” (As-Suyuthi, TT:103)
Kaidah diatas merupakan syiasah
dalam syariat islam dalam mencegah sesuatu kejahatan atau menutupi jalan bagi
perbuatan yang memungkinkan terjadinya kejahatan, yakni dengan memberikan
ancaman akibat perbuatan yang dilakukan. Contoh: masalah warisan, dimana hal
ini seorang anak yang semestinya mendapatkan warisan setelah orang tuanya
meninggal. Namun, seandainya seorang anak tergesa-gesa untuk mendapatkan
warisan dengan cara membunuh ayahnya, maka anak itu, tidak mendapatkan warisan,
karena ia bukan termasuk lindungan ayah, kalau termasuk mengapa ia harus
membunuh pelindungnya.
Contoh lainnya, yaitu jika kita
makan dengan harapan kita dapat kenikmatan, namun karena tergesa-gesa, maka
kita akan tersendat (dalam kurung tidak akan mendapatkan kenikmatan).
Namun boleh tergesa-gesa dengan
pengecualian, yakni tergesa-tergesa untuk kemaslahatan itu, misalkan membayar
hutang yang mana masih belum sampai pada waktu membayar.
b.
Kaidah ketigapuluh
satu
أَلنَّفْلَ
اَوْسَعُ مِنَ الْفَرْضِ
“Ibadah sunnat itu lebih luas dari pada ibadah
fardhu.” (As-Suyuthi,TT:104)
Setiap ibadah yang disyari’atkan
sebagai ibadah sunnah itu lebih luas dan longgar pelaksanaannya ketimbang
ibadah wajib, karena itu shalat sunnah boleh dengan berdiri, duduk, berbaring
dan bahkan ia mampu berdiri, sedangkan sholat wajib hanya diserukan berdiri
jika mampu. Demikian sholat sunnah pada saat perjalanan tidak diwajibkan
menghadap kiblat, tidak perlu mengulangi tayammum. Contoh sholat sunnah diatas
pesawat (boleh duduk) meski bisa berdiri.
Contoh lainnya, Ahmad bepergian
ke Samarinda, kemudian pada malam hari Ahmad melakukan sholat witir, maka Ahmad
tidak perlu bertayammum kembali karena tadi Ia sudah bertayammum.
c.
Kaidah ketigapuluh dua[2]
أَلْوِلَا
يَةُ الْخَامَّةُ أَقْوَى مِنَ الْوِلَايَةُ الْعَامَّةِ
“kekuasaan yang khusus lebih kuat
dari pada kekuasaan yang umum.” (As-Suyuthi, TT:104)
Setiap kekuasaan yang dihadapkan persoalan antara
pemegang kekuasaan yang khusus dan umum, maka yang dikuatkan secara khusus,
karena ia memegang kekuasaan secara langsung, dan penguasa umum tidak boleh
bertindak atas wewenagnnya sebelum penguasa khusus masih berfungsi. Contohnya
seorang wali telah mengawinkan anak wanitanya yang ghaib (tidak ada ditempat
pernikahan) sedangkan ditempat itu, ada seorang hakim yang akan menikahkan
wanita tersebut, maka yang dianggap sah nikahnya adalah nikahnya wali, karena
ia lebih dekat wewenagnya dari pada hakim.
Contoh lainnya, Ahmad mempunyai
anak yang bernama Hamid, kebetulan Hamid masih belum cukup umur dan tidak
pandai mengaji, maka Ahmad yang mengajarinya terlebih dahulu sebelum diserahkan
kepada guru ngaji.
d. Kaidah ketigapuluh
tiga
لَا عِبْرَةُ بِا الضَّنِّ الْبَيِّنُ خَطَؤُهُ
“tidak dapat diperhitungkan
sesuatu yang didasarkan pada perkiraan yang jelas salahnya.” (As-Suyuthi,
TT:106)
Yang dimaksud dhan pada kaidah diatas adalah
sesuatu pendapat yang lebih cenderung kepada benernya dari pada tidak. Karena
itu dalam kaidah tersebut bahwa suatu keputusan hukum yang didasarkan kepada
keadaan perkiraan, dan padanya jelas mengandung kesalahan maka hokum itu dibatalkan.
Contohnya, seorang debitur telah melunasi utangnya, seorang wakil atau
penanggungnya juga melunasi utang itu, karena ia mengira bahwa utang tersebut
belum dilunasi, maka penanggung yang melunasi utang tersebut boleh meminta
kembali uangnya.
Contoh lainnya, seorang direktur
mendapat undangan untuk menghadiri sminar, kebetulan pada saat itu Direktur
meminta wakilnya untuk menggantikannya, karena lagi puyeng (jika tidak sehat).
Kemudian, si wakil berangkat, karena ia mengira Direktur masih sakit, namun
setelah sampai Direktur ada, maka si wakil boleh tidak menghadiri seminar.
e. Kaidah
ketigapuluh empat[3]
أَلْإِشْتِغَالُ بِغَيْرِ الْمَقْصُوْدِ
إِعْرَاضُ عَنِ الْمَقْصُوْدِ
“berbuat yang tidak dimaksud
berarti berpaling dari yang dimaksud”. (As-Suyuthi, TT:107)
Setiap perbuatan yang dikerjakan tanpa suatu maksud tertentu maka
terhadap perbuatan itu tidak dapat dihukumkan kepada maksud tertentu.
Contohnya, seorang bersumpah tidak akan bertempat tinggal disutau rumah
tertentu, berarti dia tidak akan tidur, duduk, dan sebagainya dirumah itu.
Namun jika ia masuk pada rumah tersebut untuk mengambil harta yang tertinggal,
maka masuk rumah terlepas dari maksud sumpahnya.
2.
Maksud kaidah (ketigapuluh lima sampai keempat puluh)
1.
Kaidah ketigapuluh lima
لاَ يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفَ
فِيْهِ وَإِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُجْمَعُ عَلَيْهِ
“Tidak dipungkiri perbuatan yang
diperselisihkan (hukumnya) padahal yang dipungkiri merupakan (hokum) yang
disepakati.” (As-Suyuthi,TT:107)
Kaidah tersebut dikecualikan dalam tiga hal:
a. Apabila salah satu pendapat yang berbeda
itu sangat jauh pengambilannya, seperti masalah perbuatan wathi (sex) dari
orang yang menerima gadaian budak wanita terhadap budak wanita tersebut. Maka
orang tersebut tetap di had sebagai pezina.
b. Bila masalahnya sudah diadukan ke hakim,
dan hakim telah menetapkan hukumannya menurut keyakinannya dan sesuai dengan
haknya.
c. Pengingkaran terhadap tuduhan memang hak
manusia, seperti suami ter-hadap istri, sehingga suami boleh melarang istri
minum anggur yang huk-umnya diperselisihkan. (As-Suyuthi, TT:107)
2. Kaidah
ketigapuluh enam[4]
يَدْ خُلُ الْقَوِيُّ عَلَى
الضَّعِيْفِ وَلَا عَكْسَ
“Yang kuat mencakup yang lemah, dan tidak sebaliknya.” (As-Suyuthi, TT:107)
Setiap tuntutan, baik tuntutan ataupun mengerjakan
atau meninggalkan, maka tuntutan yang kuat itu sebenarnya telah mencakup atas
tuntutan yang lebih lemah, dan tuntutan yang lebih lemah tidak mencakup
tuntunan yang lebih kuat.
Contoh, seorang boleh mengerjakan haji bersamaan dengan umrah, namun
tidak boleh mengerjakan umrah bersamaan mengerjakan haji, sebab kriteria haji
lebih kuat dari pada umrah, baik keriteria syara, rukun, maupun waktu
pelaksanaannya.
Contoh lainnya, Direktur memerintahkan kepada
bawahannya untuk meng-gantikannya, namun bawahannya tidak bisa memerintahkan
atasan untuk me-ngerjakan pekerjaannya.
3. Kaidah
ketigapuluh tujuh
يَغْتَفِرُ فِى الْوَسَائِلِ
مَالَا يَغْتَفَرُ فِى الْمَقَاصِدِ
“Dapat dimaafkan karena
sebagai sarana (medium) namun tidak dapat dimaafkan pada maksud yang dituju.”
(As-Suyuthi, TT:107)
Maksudnya adalah sesuatu yang
harus ada pada apa yang menjadi maksud haruslah dipenuhi, sedangkan sarana yang
digunakan untuk mencapai maksud dapat dimaafkan atau dilonggarkan dengan menghilangkan
atau menguranginya, karena itu niat dalam wudhu tidak harus ada, walaupun hal
itu disyaratkan, karena wudhu sebagai sarana sholat sedangkan niat dalam shalat
diwajibkan dan harus ada, karena sholat merupakan tujuan syarak bukan sarana
syarak, dengan demikian ada perbedaan antara niat dalam wudhu (sarana) dengan
kedudukan niat dalam shalat (tujuan)
4.
Kaidah ketigapuluh
delapan[5]
أَلْمَيْسُوْرُ لَا يَسْقُطُ بِالْمَعْسُوْرِ
“Suatu perbuatan yang
sudah dijalankan tidak dapat digunakan dengan perbuatan yang sukar dijalankan.”
(As-Suyuthi, TT:107)
Kaidah tersebut, diasumsikan dari sabda Nabi saw.
إِذَا أَمَرْ
تُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوْ مِنْهُ مَاا سْتَطَعْتُمْ
(Apabila aku perintahkan sesuatu, maka kerjakanlah
menurut kemampuanmu (semampumu). (HR. Bukhari dan Muslim)
Dengan kaidah diatas, dimaksudkan agar dalam setiap
pelaksanaan amalan syarak hendaklah dikerjakan menurut daya kemampuan
simukallaf. Dengan ini, dapat dikatakan bahwa apa yang dicapai menurut batas
maksimal kemampuannya dipandang sebagai perbuatan hokum yang sah.
Ulama syafi’iyah menolak pendapat Imam Abu Hanifah
yang menyatakan bahwa orang yang telanjang shalatnya adalah dengan duduk. Mahfumnya ialah bagi seorang
yang tidak dapat menutup aurat pada shalatnya, maka mengugurkan shalat dengan berdiri.
Ulama’ Syafi’iah berpendapat bahwa tidak dapat menutup aurat, tidak mengugurkan
shalat berdiri.
Semakna dengan kaidah yang diatas:
مَالَا
يُدْ رَكُ كُلُّهُ لَا يُتْرَكُ كُلُّهُ
“Sesuatu yang tidak dapat dicapai secara
keseluruhan, tidak dapat ditinggalkan secara keseluruhan.” (As-Suyuthi, TT:108)
مَالَا
يُدْ رَكُ كُلُّهُ لَايُتْرَكُ بَعْضُهُ
“Sesuatu yang tidak dapat dicapai
secara keseluruhan, tidak ditinggalkan sebagian.” (As-Suyuthi, TT:108)
Contohnya, seseorang yang memiliki hutang, dan berjanji
untuk mengambalikan pada waktu yang ditentukan. Namun, ia masih belum memilik
keseluruhan uang untuk membayar hutang yang dimiliki, tetapi ia memiliki
sebagian saja, maka ia menyetorkan sebagian saja dari pada tidak.
Contoh yang lain, Ahmad tidak dapat mengaji dengan
lancar (ia malas untuk mengaji), karena tidak cepat lancar. Maka Ahmad tetap
mengaji meski tidak lancar, dari pada tidak sama sekali.
5. Kaidah
ketigapuluh Sembilan
مَالَا
يُقْبَلُ التَّبْعِيْضَ فَا خْتِيَارُ بَعْضِهِ كَاخْتِيَارِ كُلِّهِ وَإِسْقاَطُ
بَعْضُهُ كَإِسْقاَطِ كُلِّهِ
“Sesuatu
yang tidak dapat dibagi, maka mengusahakan sebagian (hukumnya) sama dengan
mengusahakan keseluruhan, demikian juga mengugurkan sebagian berarti
mengugurkan pula keseluruhan.” (As-Suyuthi, TT:108)
Contohnya, seorang suami
mengatakan pada istrinya, “Kamu saya talaq separuh”, maka ucapan itu dianggap
jatuh talaq satu, karena ucapan talaq tidak dapat dibagi-bagi.
Contoh yang lain, seseorang
sholat dhuhur (4 rakaat), tiba-tiba orang tersebut, berhenti pada saat rakaat
kedua (maka shalat tersebut gugur atau batal).
6.
Kaidah keempat puluh
إِذَاجْتَمَعَ
السَّبَبُ وَالْغُرُوْرُ وَالْمُبَا شَرَةُ قُدِّ مَتِ الْمُبَا شَرَةُ
“Apabila
antara sebab, tipuan maupun pelaksanaan langsung berkumpula maka didahulukan pelaksanaan
langsung itu.” (As-Suyuthi, TT: 109)
Maksud kaidah diatas adalah apabila dalam suatu
kasus terdapat tiga faktor[6]
yaitu:
a.
Merupakan sebab
terjadinya kasus;
b.
Berwujud penipuan yang
membantu terjadinya kasus;
c.
Perbuatan langsung
yang mengakibatkan kasus.
Contoh, pembunuhan
yang dilakukan dengan secara kerjasama antara tiga orang, yang pertama sebagai
penunjuk jalan, kemudian yang kedua sebagai pelaksana penipuan si korban untuk
datang pada suatu tempat yang telah direncanakan, selanjutnya pihak ketiga atau
orang ketiga sebagai pelaksanan pembunuhan, maka orang yang pertama kali
dituntut adalah orang yang membunuh.
Contoh lainnya, pada
suatu malam ada tiga gerombolan remaja (A, B, dan C), yang bekerjasama melakukan pemerkosaan pada seorang perempuan,
dimana C adalah salah satu temen korban yang benci terhadap si perempuan, dan B
disuruh C, untuk memperkosanya, sedangkan A merupakan temen C yang berpura-pura
mengajak perempuan ke toko. Maka orang yang pertama kali dituntut adalah si B.
Sebagai pengecualian
dalam kaidah diatas adalah:
a.
Apabila ada orang yang
tidak tahu menahu bahwa hewan tersebut yang dipotong merupakan hasil curian
yang diberikan kepadanya, maka yang bertanggung jawab adalah sang pencuri;
b.
Seorang mufti memberi
fatwa agar seseorang merusak sesuatu yang kemudian jelas kesalahannya, maka
dalam hal ini mufti yang bertanggung jawab.
c.
Algojo membunuh karena
perintah imam yang dianiaya, maka dalam hal ini imam yang bertanggung jawab.
(As-Suyuthi, TT:109).[7]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Kaidah tigapuluh merupakan kaidah yang
membahas tata cara berprilaku agar tidak tergesa-gesa. Sedangkan ketigapuluh
satu yaitu membahas tentang “ibadah sunnah lebih luas daripada ibadah
fardhu”. Adapun kaidah ketigapuluh dua yaitu membahas “wilayah
yang dekat lebih kuat kekuasaannya atas yang umum”. Selanjutnya kaidah ketigapuluh
tiga “tidak dapat dihitung yang diperkirakan jelas salahnya” dan yang kaidah yang ketigapuluh empat
yaitu menerangkan bahwa “perbuatan yang tidak dimaksud berpaling dari yang
dimaksud”.
2.
Adapun kaidah ketigapuluh lima
ialah membahas ““Tidak dipungkiri perbuatan yang diperselisihkan (hukumnya)
padahal yang dipungkiri merupakan (hokum) yang disepakati.” Selanjutnya kaidah
ketigapuluh enam yaitu “yang kuat mencakup atas yang lemah, dan
sebaliknya” adapun yang kaidah ketigapuluh tujuh yaitu “Dapat dimaafkan karena
sebagai sarana (medium) namun tidak dapat dimaafkan pada maksud yang dituju.” Selain itu, kaidah
ketigapuluh delapan ialah membahas “Suatu perbuatan yang sudah
dijalankan tidak dapat digunakan dengan perbuatan yang sukar dijalankan.”
Kemudian kaidah ketigapuluh sembilan yaitu membahas “Sesuatu yang
tidak dapat dibagi, maka mengusahakan sebagian (hukumnya) sama dengan
mengusahakan keseluruhan, demikian juga mengugurkan sebagian berarti
mengugurkan pula keseluruhan.” Dan yang terakhir kaidah keempat puluh
dimana kaidah ini membahas tentang “Apabila antara sebab, tipuan maupun
pelaksanaan langsung berkumpula maka didahulukan pelaksanaan langsung itu.”
B.
Saran
Dalam pekerjaan kesaharian
tidak pernah luput dari suatu kesalahan, maka dari itu kita harus mengetahui
hukum daripada pekerjaan tersebut, agar terhindar dari kesalahan, dan
setidaknya dapat mengingatkan kita sehingga enggan untuk mengulanginya lagi.
Sebagaimana, pada
kaidah-kaidah ushuliyah dan fiqhiyyah, diantara kaidah-kaidahnya ialah
diantaranya, yaitu kaidah ketigapuluh sampai kaidah keempat puluh, dimana
kaidah diatas sangat penting untuk diketahui dan sebagai dasar untuk kesaharian
kita.
DAFTAR PUSTAKA
Usman, Muchlis, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyyah,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997.
[1] Muchlis Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyyah,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 170
[3] Muchlis Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyyah,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 172
[4] Muchlis Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyyah,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 173
[6] Muchlis Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyyah,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 176
Casino & Hotel in Reno | Mapyro
BalasHapusFind all Casino & Hotel information, maps, amenities 경상북도 출장샵 and reviews. MGM Casino 경상북도 출장마사지 Hotel, 목포 출장샵 Reno, NV, 3.7 miles away 태백 출장안마 from Reno. 광주 출장안마 This hotel is an affordable